Assalamu alaikum wr.wb.
Statemen tersebut memang banyak disuarakan oleh sebagian kalangan yang ekstrem dalam memandang sejumlah persoalan. Namun dalam kenyataan ketika mereka mengetahui realitas nash dan sosial yang ada, maka perubahan sikap mulai terlihat.
Kadangkala mereka berpikir terlalu simpel dan sederhana dalam menilai sebuah permasalahan. Karena demokrasi dipandang sebagai bagian dari sistem kufur kemudian mereka berlepas diri dari situasi dan realitas yang ada tanpa mau melakukan perubahan yang sitematis dan terarah. Bahkan, kadangkala tidak mau memahami cara berpikir orang lain yang dianggap batil, sesat, dan hanya pendapat kelompoknya sendiri yang benar.
Di sisi lain, ketika kita menamakan atau masuk ke dalam sebuah sistem yang terlanjur disebut-sebut sebagai sistem demokrasi, sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran kita bahwa rakyat itu tuhan, seperti yang dipahami secara sempit dari kekuasaan di tangan rakyat. Yang dilakukan adalah mengatakan kepada lawan, "Kalau Anda mengatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat, oke dan boleh saja. Tapi ketahuilah bahwa rakyat itu menginginkan hukum Tuhan diterapkan di negeri ini?. .
Hasilnya akan jelas bahwa hukum Allah SWT akan berlaku dengan perantaraan diplomasi. Kira-kira hal tersebut senada dengan kisah pemuda Ashabul Ukhdud yang secara diplomatis rela memberikan kunci rahasia bagaimana caranya agar dirinya bisa dibunuh oleh penguasa. Syaratnya adalah bahwa raja dan semua rakyat harus mengucapkan syahadat ketika membunuhnya.
Jadi kita mengunakan logika lawan untuk bisa memenangkan argumentasi kita. Sama juga dengan diplomasi Nabi Ibrahim AS yang ketika ditanyakan kepadanya siapakah yang meruntuhkan tuhan-tuhan itu, Ibrahim menjawab dengan sangat diplomatis bahwa berhala yang paling besar itulah yang telah melakukannya. Diplomasi ini menohok lawan langsung tepat pada titik matinya. Sehingga mereka tercekat tak bisa menjawab kecuali dengan tangan besi.
Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". (QS.Al-Anbiya? : 62)
Dengan teknik yang mirip, kita mengatakan kepada lawan bahwa kita siap beradu kekuatan dengan cara lawan, yaitu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin suara. Sebab kita yakin bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah muslimin, maka sudah barang tentu bila suara terbesar itu pastilah milik umat Islam. Sayangnya selama ini suara itu malah dimanfaatkan oleh partai sekuler untuk menegakkan sistem sekuler di negeri ini. Seandainya partai Islam yang komitmen dengan Islam mendapat dukungan luas dari umat Islam, insya Allah kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tidak seperti sekarang ini.
Bahkan DR Yusuf al-Qardhawi secara eksplisit menegaskan bahwa sistem demokrasi memiliki banyak hal kesamaan dengan sistem Islam.
Hasilnya akan jelas bahwa hukum Allah SWT akan berlaku dengan perantaraan diplomasi. Kira-kira hal tersebut senada dengan kisah pemuda Ashabul Ukhdud yang secara diplomatis rela memberikan kunci rahasia bagaimana caranya agar dirinya bisa dibunuh oleh penguasa. Syaratnya adalah bahwa raja dan semua rakyat harus mengucapkan syahadat ketika membunuhnya.
Jadi kita mengunakan logika lawan untuk bisa memenangkan argumentasi kita. Sama juga dengan diplomasi Nabi Ibrahim AS yang ketika ditanyakan kepadanya siapakah yang meruntuhkan tuhan-tuhan itu, Ibrahim menjawab dengan sangat diplomatis bahwa berhala yang paling besar itulah yang telah melakukannya. Diplomasi ini menohok lawan langsung tepat pada titik matinya. Sehingga mereka tercekat tak bisa menjawab kecuali dengan tangan besi.
Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". (QS.Al-Anbiya? : 62)
Dengan teknik yang mirip, kita mengatakan kepada lawan bahwa kita siap beradu kekuatan dengan cara lawan, yaitu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin suara. Sebab kita yakin bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah muslimin, maka sudah barang tentu bila suara terbesar itu pastilah milik umat Islam. Sayangnya selama ini suara itu malah dimanfaatkan oleh partai sekuler untuk menegakkan sistem sekuler di negeri ini. Seandainya partai Islam yang komitmen dengan Islam mendapat dukungan luas dari umat Islam, insya Allah kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tidak seperti sekarang ini.
Bahkan DR Yusuf al-Qardhawi secara eksplisit menegaskan bahwa sistem demokrasi memiliki banyak hal kesamaan dengan sistem Islam.
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
No comments:
Post a Comment