Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d.
Dalam nash hadits, masalah isbal atau memanjangkan kain melebihi mata kaki ini memang banyak disebutkan. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut: “Makan, minum, berpakaian dan bersedekahlah dengan tidak israf (berlebihan) dan makhilah” (HR. Bukhari) “Kain yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka” (HR. Bukhari) “Orang yang memanjangkan kainnya karena riya`, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR. Malik, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu Majah). ”Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena khaila`(karena sombong dan bangga diri), Allah tidak melihatnya pada hari kiamat. Abu Bakar As-Shiddiq ra berkata, ”Ya Rasulullah, kainku ini longgar namun aku tetap menjaganya. Rasulullah SAW bersabda,”Kamu bukan termasuk orang yang sombong dan bangga diri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan hal itu. Namun berkaitan dengan bentuk hukum yang diistimbat, para ulama berbeda pandangan tentang keharamannya. Sebagian ulama mengaitkan hubungan antra isbal dengan motifnya, yaitu sombong dan bangga diri. Sehingga isbal itu menjadi haram bila motivasinya adalah riya, sombong dan bangga diri. Sedangkan bila tidak disertai dengan motif tersebut, maka hukumnya boleh. Namun sebagian ulama lainnya menetapkan secara mutlak keharamannya, lepas dari apa motivasinya. Para ulama yang mengaitkan hubungan antara isbal dengan motif sombong mendasarkan pendapat mereka dengan hadits Abu Bakar, dimana beliau menanyakan hukum isbal itu. Dan ternyata Rasulullah SAW membolehkan Abu Bakar memanjangkan kainnya karena Rasulullah SAW tahu bahwa motifnya bukan riya dan sombong.
Diantara ulama yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam An-Nawawi dan Al-Hafiz Ibnu Hajar serta banyak lagi diantara para pensyarah hadits. Paling tidak, hukum isbal itu tidak mutlak satu pendapat, karena masih didapat perbedaan pandangan diantara para ulama salaf sendiri tentang kemutlakan haramnya. Namun sebagai bentuk keluar dari khilaf, ada baiknya bila seseorang berusaha agar tidak melakukan hal yang akan menimbulkan perbedaan dan kihlaf.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
No comments:
Post a Comment